Friday 22 April 2022

Luka Jiwa

Sebelum saya mulai cerita, disclaimer dulu nih ya biar ga salah paham..

Tujuan saya menulis ini bukan untuk menjelek-jelekkan ataupun membuka aib hidup seseorang dan keluarganya, juga bukan untuk menyalahkan pihak manapun. Pure mau sharing karena menurut saya cerita ini bisa jadi insight untuk kita yang punya keluarga atau teman yang mengalami hal ini. Karena saya yakin di luar sana juga banyak yang mengalami hal yang sama, tapi kita ga tau harus gimana..

----------

Orang terdekat saya ada masalah dengan keluarganya. Sejak awal hubungan dengan ayahnya memang kurang baik. Terlebih lagi ketika ibunya meninggal dunia, dia seakan menjauh dari ayahnya. Enggan bertemu atau sekedar mengangkat telepon ayahnya. Seolah dia bertahan bersikap layaknya ayah dan anak hanya karena ibunya..

Suatu ketika ayahnya sakit, perlu anak-anaknya untuk merawatnya. Tapi dia enggan berurusan dengan ayahnya, jadi hanya adik-adiknya yang merawat ayahnya. Karena satu dan lain hal, timbul lah konflik diantara kakak beradik ini. Saya kenal baik dengan adik-adiknya, jadi saya coba ajak sang kakak bicara dengan harapan bisa sebagai penengah diantara mereka. Selagi berdiskusi pecahlah emosinya saat itu, keluar semua perasaan yang dia pendam selama ini. Belasan tahun kenal dia, baru kali ini lihat dia sesedih itu. Entah kenapa hati saya pun ikut sakit mendengar ceritanya. Dan pertanyaan saya yang dulu kepo tentang dia dan keluarganya, akhirnya terjawab.

Dia bercerita, sejak kecil sering merasa diabaikan oleh ayahnya. Menurutnya, terlihat jelas sekali perlakuan antara dia dan adik-adiknya berbeda. Jujur, saya orang luar yang kenal dia dan keluarganya terkadang memang melihat perbedaan itu. Almarhum om nya pun mengakui perbedaan itu, tapi ya saya pikir mungkin dia saja yang terlalu terbawa perasaan. Karena perbedaan sikap orang tua terhadap anak-anaknya masih sering terjadi menurut saya. Katanya, dari kecil jika ada sesuatu terjadi dan bukan ulahnya tetap saja dia yang dihukum. Dia yang selalu disalahkan walaupun itu perbuatan adik-adiknya. Dihukumnya bukan hanya omelan, tapi juga hukuman fisik. Ternyata inilah jawaban kenapa dia dan dua adiknya tidak terlalu dekat. Yaa saat itu mereka masih kecil. Si kakak tidak bisa legowo menerima hukuman karena perbuatan adiknya, dan adiknya belum terpikirkan untuk membela kakaknya. Pasrah tapi hatinya terluka. Banyak dituntut sebagai anak pertama, tapi tidak diimbangi kasih sayang yang cukup. Ibaratnya harus mengerjakan ini itu tapi gajinya sedikit, bagaimana rasanya?

Saya pernah dengar cerita, menurut adik-adiknya salah satu alasan kenapa mereka tidak terlalu dekat karena sejak kecil si kakak suka pelit berbagi mainan atau barang. Marah jika mainannya dipinjam atau rusak. Jadi sejak kecil memang ada batasan diantara mereka. Dan cerita dari si kakak kenapa dia berbuat begitu, karena menurut dia hanya cara itu untuk mempertahankan haknya. Karena orang tuanya selalu, "udah kasih mainan ke adiknya, udah ngalah aja". Dipaksa untuk selalu mengalah dan tidak boleh mengeluh karena dia anak pertama. Dan ini jawaban lain dari pertanyaan saya, "kenapa sikapnya terkadang kurang menyenangkan?". Dia memang terkadang egois, bossy, keras kepala, tidak mau mengalah. Ya karena itu cara dia mempertahankan apa yang dia punya. Menurutnya kalau lemah dia akan kehilangan apa yang dia punya.

Lalu karena tidak diperlakukan dengan adil, dia jadi selalu membandingkan hal-hal lain antara dia dan adik-adiknya. Katanya, dia tidak bisa memilih mau kuliah dimana, ambil jurusan apa, bahkan ketika sudah kerja pun ayahnya ikut campur. Sedangkan adik-adiknya bisa memilih. Btw, dia kuliah tidak di Indonesia. Tentu permintaan dari ayahnya, bukan kemauan dia. Saya yakin menurut ayahnya itu yang terbaik untuk anaknya, tapi siapa kira menurut anaknya dia merasa 'dibuang'. Pertama kali ke luar negeri dan tidak kenal siapa pun, tapi dilepas begitu saja. Padahal maunya didampingi, ditemani. Toh ini juga bukan maunya dia. Pada akhirnya dia harus berjuang sendiri apa pun yang terjadi di sana. Banyak hal yang orang tuanya tidak tau kehidupan dia di sana bagaimana. Lulus dalam waktu 3.5 tahun dengan IPK bagus, bukan menandakan bahwa dia suka dan cocok dengan jurusan yang dia ambil. Tapi karena dia mau cepat selesai dan bisa kembali pulang.

----------

Saya pernah tanya, apakah dia tidak pernah mengutarakan isi hatinya kepada kedua orang tuanya? Bilang kalau dia tidak suka, tidak setuju, atau setidaknya orang tuanya mendengarkan apa pendapatnya. Ke ayahnya, tidak pernah bisa. Ke ibunya, pada akhirnya "udah nurut aja". Emosinya tidak pernah divalidasi. Itulah kenapa dia dikenal pemarah. Entah khawatir, perduli, cara menyampaikannya ya marah. Niatnya baik, tapi cara mengutarakannya kurang tepat. Jadi orang lain yang dituju tidak bisa menerimanya dengan baik. Sejujurnya, sebelum saya dengar perasaan dia yang sesungguhnya saya pun berfikir begitu. "Apaan sih, hal kecil aja marah sampai segitunya" atau "Bisa ga sih bilangnya baik-baik?". Tapi karena sudah tahu apa yang dia lalui, saya jadi bisa memahami maksud emosinya dia apa. Jadi saya tidak terlalu kesal menanggapinya. Dan hal baiknya, emosi dia pun membaik.

Dulu saya juga pernah tanya, kenapa dia tidak pernah betah di rumah. Jawaban dia dulu, "gak papa, asal ga bawa sendok juga ga bakal dicariin" sambil bercanda. Ternyata karena di rumah dia tidak merasa "di rumah". Ayahnya sering keluar, ibunya di kamar, adik-adiknya sibuk sendiri. Jadi dia merasa lebih baik main di luar dibanding ada di rumah. Saat kecil pun ketika Idul Fitri dia lebih memilih di rumah eyangnya, diajak pulang tidak mau. Dia merasa lebih nyaman di rumah eyangnya. Dan menurutnya, dia menemukan sosok ayah justru dari almarhum omnya. Katanya omnya hebat, tidak membeda-bedakan antara dia, adik-adiknya dan sepupunya. Kalau salah ya dimarahin sesuai porsinya, tapi juga diperhatikan dan didengarkan bagaimana perasaannya.

Saya yakin adik-adiknya pun punya kenangan kurang menyenangkan dari ayahnya. Hanya saja entah rasa sakit yang mereka terima tidak sedalam sang kakak, atau mereka sudah bisa melaluinya, menerima dan memaafkan ayahnya. Terus terang, sikap adik-adiknya terhadap ayahnya dulu jauh lebih santai dibanding sang kakak yang terbawa emosi. Cara adik-adiknya menyikapi orang lain atau suatu hal pun berbeda dengan sang kakak. Kalau dilihat dari kisah masa kecil sang kakak dan yang saya lihat sendiri sikap orang tua mereka, sepertinya adik-adiknya menerima kasih sayang yang lebih banyak dari orang tuanya. Yang sudah belajar ilmu parenting pasti paham sebab akibat sikap seseorang ya.

Saya akui, komunikasi di keluarganya sangat sangat kurang. Ya mungkin karena anak-anaknya tidak dibiasakan untuk mengutarakan pendapatnya. Jadi jika ada masalah selalu tidak pernah selesai. Selesai pun tidak benar-benar tuntas. Juga sang kakak ini, dibanding mengutarakan isi hatinya ke adik-adik dan keluarganya, dia lebih memilih diam. Menurutnya, lebih baik orang lain salah paham tentangnya ketimbang menyelesaikan semuanya. Karena menurut dia orang lain tidak akan pernah paham apa yang dia lalui dan rasakan. Yaah.. ada benarnya juga, tidak semua orang bisa menerima kita.  Tapi menurut saya lebih baik berdebat, mengutarakan isi hati masing-masing pihak, lalu menyelesaikannya bersama-sama. Pada akhirnya orang itu menerima atau tidak, setidaknya mereka tau apa isi hati kita. Sehingga tidak menerka-nerka atau suudzon terhadap orang itu.

----------

Lalu, apa yang bisa kita ambil dari kisah ini dan bagaimana menyikapi kerabat yang mengalami hal ini?

Ini menurut pendapat saya ya..

Pelajaran hidup yang bisa saya ambil adalah, bersikap adil ke semua anak. Karakter anak berbeda-beda, tapi kita tetap tidak boleh memberikan kasih sayang lebih banyak ke anak yang lebih baik perilakunya. Lalu biasakan anak berpendapat, dan kita sebagai orang tua biasakan mendengarkan anak-anak kita. Jangan pernah berhenti belajar tentang parenting, beruntung zaman sekarang bisa dengan mudah mendapat informasi tentang parenting. Katanya sih, anak-anak yang memiliki masa kecil yang bahagia kelak ketika dewasa juga lebih bahagia.

Itu pelajaran yang bisa diambil sebagai orang tua. Lalu sebagai anak, kalau kita memang memiliki luka masa kecil sebisa mungkin coba menerima, memafkan orang tua kita. I know, tidak semudah itu. Tiap orang pun berbeda, tidak bisa disamakan. Seperti kerabat saya ini, beberapa kali saya tanya "apa sih susahnya memafkan orang tua sendiri?". Tapi setelah saya cari tau tentang inner child, ternyata ya memang mudah buat kita, tapi belum tentu untuk orang yang melaluinya. But when you're ready to forgive, just do it. Mungkin orang tua kita juga mengalami masa kecil yang berat, dan zaman dulu susah untuk mendapat informasi tentang parenting, jadi mereka juga tidak tau harus bagaimana. Untuk masa kini, kita yang bertanggung jawab atas diri kita sendiri. Mau hidup lebih bahagia? Berdamailah dengan masa lalu. Pasti akan butuh waktu, tapi tetap mencoba ya. Kalau tetap merasa sulit, konsultasi dengan ahlinya.

Dan ini opini saya tentang siblings. Dalam kisah kakak beradik ini, sejujurnya saya tidak melihat kasih sayang yang tulus antar saudara. Maaf kalau salah ya, ini pendapat saya sebagai orang lain. Mungkin karena sejak kecil mereka tidak dibiasakan untuk saling sayang, saling perduli dengan sangat tulus, dan mengungkapkan bahwa memang perduli. Mereka care ya karena mereka 'kakak adik'. Karena kalau kakak adik benar-benar saling sayang dengan tulus, sekesal-kesalnya atau sebenci-bencinya kita atas sikap saudara kita, ketika saudara kita dalam kesulitan kita akan tetap care. Apapun yang terjadi, akan tetap saling membantu. Atau setidaknya support dengan perhatian, show them that we really care. Dan ini tidak terjadi dalam keluarga ini. Sejujurnya, saya yang sedih lihatnya tapi tidak bisa berbuat apa-apa.

Terus bagaimana sikap kita menghadapi orang yang memiliki luka masa kecil. Tetap support dalam hal yang positif. Coba memahami dan tidak mengabaikan emosi dan perasaannya. Jangan pernah meremehkan dan membandingkan dengan orang lain. Doakan agar dilembutkan hatinya, mau membuka diri. Walaupun menurut kita sikapnya kurang tepat, tetap hargai dan hormati keputusannya. Juga sabar dan ikhlas..

Dalam kisah ini, orang lain pasti menilai sang kakak anak yang tidak berbakti, tidak tau terima kasih, tidak mau memaafkan; tanpa tau apa yang sudah dilaluinya selama bertahun-tahun. Atau melihat sang kakak ini seperti menghindari masalah; tanpa tau bagaimana dalam hatinya semua emosi berkecamuk. Jangan begitu kalau perduli dengan orang yang mengalami hal sulit ya, lain hal kalau memang tidak perduli. Jangan sampai kita berkata' "gitu aja ga bisa sih? Dia aja bisa" atau "sampai kapan mau menghindar terus? usaha dong". Bukannya membaik, bisa jadi perasaannya makin kacau karena dibandingkan dan didesak. Apapun sikapnya, hargailah. Dia pasti punya alasan untuk itu. Mungkin memang butuh waktu, ketimbang dipaksakan lukanya tidak akan sembuh-sembuh.

Saya pernah bertanya pada ahlinya, bagaimana menghadapi seseorang seperti ini, yang masih denial atas apa yang terjadi pada dirinya. Jawabannya, orang yang mengalami kisah seperti itu memang rentan dengan trust issue. Kita harus bisa jadi orang yang dipercaya olehnya, no judge. Jika sudah perlahan membaik, bisa diajak untuk konsultasi dengan ahlinya.

Komunikasi adalah koentji, for any relationships. Orang tua-anak, kakak-adik, suami-istri, sahabat. Bicara dan dengarkan, agar tidak ada salah paham dan bisa saling memahami.

----------

Begitulah kisahnya, semoga bisa saling mengambil hikmahnya ya. Kalau ada yang mau sharing bagaimana berhasil melalui luka inner child atau membantu orang lain melaluinya, boleh yaa.. Bisa comment atau DM by email ke saya.

Oh ya, satu hal lagi yang saya ambil hikmahnya. Jangan karena satu kesalahan seseorang lalu kita menganggap semua kebaikannya hilang dan orang itu jadi buruk di mata dan hati kita. Karena itu akan membuat kita jadi seorang pembenci. Tetapi lihatlah satu kebaikan diantara banyaknya keburukan orang itu, karena itu akan membuat kita jadi seorang pemaaf.

Thank you for reading, have a good day :)